Sejak blockchain pertama diluncurkan sepuluh tahun yang lalu, para penambang cryptocurrency telah berhasil mendapatkan lebih dari $ 21 miliar atau setara 296 Triliun rupiah dengan berpartisipasi pada protokol konsensus. Yang cukup menarik, sekitar 16 persen dari total hadiah atau yang sering disebut dengan reward didasarkan pada penambangan blok kosong dan tidak membawa nilai nyata ke jaringan.

Dulu, laptop lebih dari cukup untuk melakukan penambangan di blockchain Bitcoin (BTC) dan mendapatkan hadiah sebanyak 50 BTC per blok. Namun, karena semakin banyak penambang yang ikut bergabung dengan jaringan desentralisasi ini, kesulitan penambangan menyesuaikan (bertambah) dan rata-rata CPU tidak lagi kuat untuk melakukan penambangan pada blockchain BTC.

Pada 1 Oktober 2010, pengguna Bitcointalk ‘m0mchil’ merilis sebuah kode untuk menambang BTC menggunakan video card (GPU). Ketika tingkat kesulitan dan kebutuhan daya terus meningkat, kebutuhan untuk perangkat keras penambangan yang lebih maju atau baru menjadi jelas, pada Juni 2011, Field-Programmable Gate Array (FPGAs) menjadi cukup populer.

Keuntungan terbesar dari FPGA adalah bahwa FPGA mengonsumsi energi tiga kali lebih sedikit daripada GPU. FPGA juga yang memprakarsai munculnya mesin Application Specific Integrated Circuit (ASIC) yang merubah penambangan Bitcoin dari sekedar hobi menjadi aktivitas industri sejati. Sampai saat ini, ASIC tetap menjadi standar, karena dibuat untuk tujuan penambangan cryptocurrency. ASIC terkenal mahal dan merupakan satu-satunya cara yang dapat memberikan keuntungan dalam melakukan penambangan Bitcoin.

Bagaimana tidak menguntungkan coba? Menurut Diar – buletin mingguan yang menganalisis industri aset digital dunia – bisnis ini sedang booming, dengan lebih dari $ 11,3 miliar atau 159 triliun rupiah yang diperoleh para penambang dalam sepuluh tahun terakhir.

Sejauh ini, dari semua penambangan cryptocurrency, penambangan Bitcoin masih mendominasi.

Secara total, penambang cryptocurrency dari seluruh dunia mendapatkan hadiah/reward lebih dari $ 21 miliar atau setara dengan 296 triliun rupiah, seperti yang dilaporkan Diar. Para penambang Bitcoin telah mendapatkan setengah dari total hadiah penambangan cryptocurrency yang ada ($ 11,3 miliar atau setara dengan 159 triliun rupiah), diikuti oleh hadiah penambangan dari Ethereum (ETH) dengan $ 5,8 miliar atau setara dengan 81 triliun rupiah.

Saat ini, Ethereum masih berbasis pada Proof-of-Work (PoW) yang dipatenkan Satoshi Nakamoto, seperti halnya Bitcoin.

Grafik dari Diar

PoW merupakan sebuah protokol di mana para penambang akan bersaing untuk menyelesaikan masalah matematika yang kompleks. Protokol tersebut menggunakan sumber daya komputasi yang luas dan membakar sejumlah besar energi untuk mendapatkan hasilnya.

Para penambang di blockchain Ethereum dihadiahi tiga eter per blok sebelum hard fork terjadi kemarin, tetapi dengan Hard Fork Constantinople yang sudah aktif saat ini, hadiah telah berkurang menjadi dua eter per blok. Pemotongan bertahap ini (dari lima eter menjadi tiga eter pada Oktober 2017 sebagai bagian dari hard fork Byzantium dan dari tiga hingga dua eter dengan hard fork Constantinople) merupakan sebuah rencana besar yang nantinya akan menggeser algoritma blockchain Ethereum dari PoW ke Proof-of-Stake atau PoS.

PoS itu sendiri merupakan sebuah protokol di mana pencipta blok baru dipilih dengan cara deterministik tergantung pada jumlah stake yang mereka miliki. Ini jauh lebih hemat biaya dan ramah lingkungan.

Jika kita melihat grafik diatas, Decred (DCR) merupakan salah satu blockchain PoS dan PoW dalam sistem hybrid unik yang disebut Proof-of-Activity (PoA). Kemudian Dash yang sejatinya adalah cryptocurrency berbasis PoW tetapi juga memiliki sistem Masternodes yang bertindak sebagai lapisan kedua yang memfasilitasi fungsi yang lebih maju. Sama seperti di PoS, masternode harus memiliki skin dalam game dan diberi imbalan untuk layanan mereka.

Proof-Of-Nothing (Atau Bisa Kita Sebut Dengan Cara Untuk Menambang Blok Kosong Agar Mendapatkan Untung)

Laporan ini juga menganalisis efek Proof-of-Nothing (PoN).

PoN adalah praktik penambangan blok kosong. Memang, para penambang dihargai untuk kegiatan seperti itu yang pada dasarnya tidak membawa nilai nyata ke blockchain. Hadiahnya konsisten, dengan lebih dari $ 5 juta atau setara dengan 70 miliar rupiah per bulan.

Litecoin (LTC) adalah ‘pemenang’ dalam kategori ini. Solusi untuk menambahkan blok kosong ke dalam blockchain membawa para penambang untung sebanyak $ 125 juta atau setara dengan 1,7 triliun rupiah. Disusul oleh Ethereum, dengan PoN senilai $ 113 juta atau setara dengan 1,5 triliun rupiah. Lalu Bitcoin dengan $ 100 juta atau setara dengan 1,4 triliun rupiah.

Untungnya, jumlah penambangan blok kosong ini terus menurun setiap tahunnya. Ethereum telah berhasil mencatat kemajuan terbanyak dengan penurunan sebanyak 95 persen pada tahun 2018.

Grafik dari Diar

Secara keseluruhan, jumlah blok kosong telah turun secara drastis dari 1.700 pada 2015 menjadi 438 pada tahun 2018.

Mar 3, 2019Fajar Himawan

comments